PENGORBANAN SEORANG AYAH; KELUARGA YANG PENUH TANTANGAN (1)

Kampung Panuusan, desa Linggar. itulah nama tempat yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidup Rusman. Sebuah kampung tempat kelahiran, tempat bermain semasa kecil, tempat yang penuh dengan liku-liku perjalanan hidup orangtuanya yang masih terbayang dalam ingatannya. Maklum orangtua Rusman, keduanya berasal dari keluarga yang sangat kekurangan alias tidak mampu, meskipun bapaknya, waktu itu sudah menjadi seorang guru PNS, tetapi guru pns jaman dulu sangat jauh berbeda dari segi kesejahteraannya dengan guru PNS jaman sekarang.

Ibu yang sangat terbayang dalam ingatan Rusman,  adalah seorang penjual kue surabi, sebuah makanan yang biasa dijual pada pagii hari secara mendadak dimasak dengan cara diungkep didalam sebuah cetakan khusus yang dipanaskan dengan kayu bakar. Terkadang ibunya menjual minuman kopi dan gorengan pada saat ada acara, sperti acara agustusan, samenan, mauludan, dan terkadang saat ada filem layar tancap di kampung. 

Rumah keluarga Rusman waktu itu masih terbuat dari kayu, rumah panggung, begitu orang menyebutnya. sebuah rumah yang terdiri dari 2 kamar, ruang tamu, dan dapur. Rumah yang bercatkan biru putih itu punya teras pelur yang cukup untuk rebahan dan main kelereng pada waktu itu. Di belakangnya ada sebuah kandang ayam negeri (ayam telur) yang mungkin pada saat itu menjadi satu satu usaha dari orangtuanya. Tapi usaha memelihara ayam negeri itu tidak begitu lama.

Rumah yang panggung itu bukan satu-satunya di kampungnya, tetapi memang waktu itu jarang yang punya rumah gedong permanen seperti sekarang. Rumahnya disamping yang paling jelek diantara rumah rumah panggung lainnya, juga ternyata rumah yang tempatin oleh keluarga itu adalah bukan kepunyaan orangtua yang dibangunnya, tetapi ternyata peninggalan nenek dari ibunya. Tanahpun juga bukan bagian milik ibunya. Makanya, dalam beberapa tahun kemudian, di saat aku usia 6 tahun kami sekeluarga pindah rumah ke kampung sebelah dengan rumah panggung baru yang terletak ditepi sawah. 

Rusman adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Dia hanya punya adik satu, perempuan. Kakaknya sudah meninggal dunia saat  masih usia 4 tahun sebelum aku lahir. Kata ibunya, kakak Rusman itu adalah anak yang sering sakitan, karena sering dibawa sama ibunya setiap kali  pergi ke sawah untuk ngajamra, yaitu nyari gabah yang masih nempel dalam jerami bekas dipanen orang lain, kemudian dibersiin lagi padinya, karena ada saja padi yang masih nyangkut dijeraminya yang tidak kepetik sama yang punyanya tapi langsung dibuang begitu saja. Disamping itu,  kakaknya, sering dibawa ke pasar jualan timun yang baru dipanen kebetulan waktu itu pernah berkebun timun dengan menyewa sepetak sawah. Karena dalam keadaan sakit juga, kakak Rusman yang masih kecil itu selalu dibawa,  karena di rumah tidak ada yang mau dititipkan meskipun banyak saudara dari ibunya. Tapi itulah mungkin nasib kakak Rusman yang  yang pasti Tuhan lebih menyayanginya, sehingga harus meninggalkan dunia. 

Adik Rusman yang  perempuan satu-satunya adalah teman hidup waktu kecil. Tapi meskipun adiknya perempuan, masih teringat aku sering berantam sama adiknya gara-gara sepele, ya masalah makanan, masalah uang jajan, baju baru, dan sebagainya. Seperti halnya anak kecil.  Pokoknya aku sering berantam, sampai bapak dan ibuku pusing melihat kami berantam terus. Tapi tenryata itu, sebatas kami waktu kecil. Karena sekarang aku dan adikku saling menyayangi saling mengerti, dan saling membantu dikala salah seroang diantara kami mendapat kesusahan dan kesulitan.

Pada waktu tinggal di rumah yang lama, kami sebenarnya berkumpul dengan sanak saudara, nenek, bibi, dan paman dan semua saudara saudara dari ibuku. Ada empat orang  adik dari ibuku, dua orang perempuan dan dua laki-laki. Kami berkumpul tapi masing-masing rumah sendiri. Teringat rumah nenekku didepan kanan rumahku, depan kiri adalah rumah kakak dari neneku dan depannya samping kanan rumah nenekku adlaah rumah pamanku dan dibelakang rumah pamanku adalah rumah bibiku. Semua berkumpul dan ada dua kakak dari ibuku lagi yang kebetulan tinggal berjauhan, yang satu tinggal di desa sebelah dan yang satu lagi tinggal di beda kecamatan.

Dalam kondisi keluarga seperti itu, aku seringkali menyaksikan sesuatu kejadian yang sangat tidak menentramkan dalam hatiku walaupun aku masih kecil, belum sekolah dan belum faham dan mengerti apa yang sebenarnya sampai kedua orangtua, ibu dan bapakku sering kali terdengar cekcok, adu mulut, saling marah, saling berkata kasar bahkan sampai ibuku menangis. Bahkan pernah aku melihat ibu dikamar dalam keadaan terbaring dan menangis berseduh-seduh. Tapi waktu itu aku hanya bisa melihat tanpa berani bertanya apa yang terjadi sama ibuku sampai sering menangis seperti itu. Apa yang telah dilakukan oleh bapakku terhadap ibuku. Oh betapa lugu aku, tidak berkata apa-apa ketika ibuku menangis tersendu-sendu.

Keadaan seperti itu sering terjadi, baik pada saat kami masih tinggal rumah lama, tempat yang dimana kami berdekatan dengan sanak saudara, sampai nenekku, ibu dari ibuku, maupun pada saat kami sudah pindah rumah, tempat yang cukup jauh dari sanak saudara, bahkan dari nenek dari ibuku. Saat itu aku sudah duduk di bangku sekolah, sudah mulai belajar memahami segala hal. Belajar pagi di sekolah, belajar mengaji sore di madrasah, dan malam mengaji kitab kuning di kampung sebelah. Kampung tempat kelahiran bapakku. Di kampung itu banyak sanak saudara dan kerabat nenek dari bapakku. Orang-orannya sangat sederhana tapi sangat religi dan tidak sedikit orang yang mempunyai keahlian dibidang agama. 

Ayah dan ibuku masih sering cekcok, berantam, dan adu mulut. Bahkan di tempat tinggal baru ini, nenek dari bapaku ini juga ikut bergabung, dan tinggal satu rumah dengan kami. Neneku dari bapak ini, asal tinggalnya di kampung sebelah, tempat aku belajar mengaji tadi. 

Dengan bergabungnya nenek dari bapaku tinggal sama sama dengan kami ini, Malah membuat percekcokan ibu dan bapaku bertambah sering terjadi. Ibuku yang sudah lama berjualan sayuran dengan berkeliling ke kampung-kampung ini menjadi sering marah-marah. Bahkan sekarng, cekcoknya sama nenek dari bapaku (mertua ibuku). Sehingga keadaan seperti ini, semakin membuat aku dan adiku tidak betah tinggal di rumah. Padahal dari segi kesejahteraan, kami sudah cukup. Karena ibuku sangat maju dan berhasil dalam jualan sayurnya, bapakku juga karena seorang PNS, degan gaji tetapnya sedikit menambah kuat dari kondisi ekonomi kami. Tetapi kenapa masih saja sering terjadi percekcokan antara ibu dan bapaku, bahkan terkadang ibuku sama nenek dari bapaku. Saat itulah aku dan adiku yang sudah mengenyam bangku sekolah ini, mulai berusaha memahami dan mencari tahu penyebab utama terjadinya percekcokan ini semua. Karena kami berdua sebagai anak yang dibuat hati resah tidak karuan melihat kedua orangtua ini, suka saling curhat. 

Betapa resah dan pilu melihat dan meperhatikan orantua yang sering bertengkar seperti itu, rasanya kami berdua sebagai anak, ingin lari dari rumah itu. Tetapi seburuk apapun keadaan rumah seperti itu, selama itu adalah sebagai kedua orangtua, mana ada anak yang tega dan berani untuk lari meninggalkannya mereka. Disamping kami berdua belajar agama, belajar ngaji, bahkan kedua orangtuaku termasuk orang yang taat agama. Apalagi bapaku, sepanjang hidupku banyak juga orang-orang sekampung yang sempat dan pernah belajar mengaji kepada bapaku. Bahkan bapaku waktu masih aktif mengajar dan dinas melihat anak-anak semakin banyak yang datang ke rumah untuk mengaji, akhirnya bapaku mendidrikan sebuah madrasah tempat mengaji anak-anak di malam hari. Madrasah itu beerbentuk bangunan dari kayu (panggung) yang dilapisi dinding dari bilik. Masih teringat bahan materialnya waktu banyak diambil dari bahan-bahan kayu bekas rumah warga yang sudah tidak terpakai dan sebagiannya lagi bahan baru yang dibeli dengan uang donasi dari warga terutama orangtua anak yang belajar mengaji. 

Melihat kondisi bapaku rajin mengajar ngaji anak-anak,  orang sekampung mugkin tidak pernah tahu kondisi kehidupan sehari hari di dalam rumahku. Pasti yang mereka tahu adalah keluargaku adalah keluarga yang ngerti agama, ngerti akhlak baik dan buruk ya pasti melihatnya sebagai keluarga sejahtra dan bahagia. Bahkan kegiatan mengajar ngajinya, bapaku semakin banyak sampai bapaku mendirikan majelis taklim mingguan untuk ibu-ibu sekampung. Sampai sekarang majlis taklimnya masih berjalan. Karena kegiatanya melibatkan para ustadz yang dikampung. Mereka diberi jadwal untuk meberikan materi kepada ibu-ibu majelis taklim. Jadi tidak bapaku sendirian. Sehingga ketika bapaku sudah tidak ada, majelsi taklim itu tetap berjalan karena ada yang meneruskan.

Tetapi itu keadaan keluargaku seperti itu, tidak semuanya terus menerus dilanda dengan pertengkaran dan percekcokan antar orangtuaku. Karena banyak juga kondisi yang normal, senda gurau bapak dan ibuku. Bahkan kita sekali-kali suka mengadakan piknik, jalan-jalan dalam rangka rekreasi. Baik itu dilakukan secara mandiri, hanya keluargaku, maupun dilakukan secara bareng-bareng sama warga kampung atau sanak kelurga dan kerabat. 

Disamping itu, aku juga berkat arahan dan didikan kedua orangtuaku, sehingga bisa disekolahkan ke luar negeri dan begitu juga adiku bisa menyelsaikan sekolahnya sampai perguruan tinggi. Karena waktu itu masih jarang di kampungku anak-anak yang sekolahnya sampai pergutuan tinggi, kebanyakan mereka hanya tamatan SMP atau SMA, dan langsung bekerja di pabrik-pabrik tekstil yang banyak berjejer di wilayah kecamatan Rancaekek. 

Itulah sekilas balik kondisi keluargaku, mulai dari aku masih kecil sampai aku dewasa yang akan diceritakan secara detail dalam bagian berikutnya


ORDER VIA CHAT

Produk : PENGORBANAN SEORANG AYAH; KELUARGA YANG PENUH TANTANGAN (1)

Harga :

https://www.httpsruyatismail.my.id/2022/07/pengorbanan-seorang-ayah-keluarga-yang.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi